Makkah, MI.com – Sebanyak 150 jamaah haji Indonesia dilaporkan meninggal dunia sejak awal kedatangan di Tanah Suci pada 3 Mei hingga 4 Juni 2025, atau hari ke-35 operasional haji tahun 1446 Hijriah. Data tersebut tercatat dalam Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) yang diakses Jumat, 6 Juni 2025.
Puncak jumlah kematian terjadi pada 28 Mei 2025 (hari ke-27) dengan 13 jamaah wafat, disusul 29 Mei sebanyak 11 orang, dan 4 Juni sebanyak 10 orang. Jika dibandingkan periode yang sama pada 2024, angka kematian tahun ini meningkat. Tahun lalu, tercatat 126 jamaah wafat hingga hari ke-35.
Dilansir dari pikiran-rakyat.com, dari total 150 jamaah wafat tahun ini, mayoritas adalah laki-laki (93 orang atau 62 persen) dan jamaah lansia (81 orang atau 54 persen). Sedangkan kelompok usia 41–64 tahun mencakup 46 persen atau 69 orang.
Jamaah yang meninggal dunia berasal dari 15 embarkasi, dengan jumlah tertinggi dari Embarkasi Surabaya (SUB) sebanyak 27 orang, disusul Embarkasi Solo (SOC) 19 orang, dan Embarkasi Ujung Pandang (UPG) 18 orang.
Sebaiknya Tetap di BPKH DPR Minta Pemerintah Perhatikan Fase Pascapuncak Haji Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina, mengingatkan bahwa fase paling krusial dalam penyelenggaraan ibadah haji justru terjadi setelah puncak haji. Ia menilai banyak jamaah, terutama lansia dan penyandang disabilitas, mengalami kelelahan fisik maupun psikis pada fase tersebut.
Baca Juga:
- Putri Adara Krisna Siswi SDN 2 Kuningan Tampil di Kidz Biennale Galeri Nasional Indonesia 2025
- Hari Asyura: Momentum Refleksi Spiritual Penuh Keutamaan
- Sambut Tahun Baru Islam 1447 H, Pontren Darul Muta’alimin: Semaan dan Khataman Al-Qur’an
“Banyak jamaah mengalami gangguan psikis karena terpisah dari pendamping atau pasangan. Ini sangat rentan, terutama bagi kelompok rentan,” kata Selly dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat 6 Juni 2025.
Selly yang juga merupakan anggota Tim Pengawas Haji DPR RI menekankan pentingnya kesiapan skenario teknis dari Kementerian Agama untuk menghadapi fase pascapuncak haji.
Tanpa mitigasi yang memadai, menurutnya, risiko kesehatan jamaah bisa meningkat dan berdampak luas terhadap keseluruhan pelayanan. Ia juga menyoroti masih lemahnya komunikasi antara pusat dan petugas lapangan, yang berimbas pada munculnya miskomunikasi dan salah prosedur dalam pelayanan.
“Ada informasi yang hanya berhenti di pusat, tidak sampai ke petugas teknis seperti ketua kloter, pembimbing ibadah, petugas konsumsi, hingga transportasi,” ujar Selly.
Bahkan, ia mengungkapkan adanya kasus jamaah yang diturunkan di tengah jalan karena miskomunikasi teknis. Hal ini disebutnya sebagai kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Selly menegaskan bahwa indikator keberhasilan penyelenggaraan haji bukan hanya pada kelancaran puncak ibadah, melainkan pada keselamatan dan kenyamanan jamaah hingga mereka kembali ke Tanah Air.
Untuk itu, ia mendesak pemerintah agar memastikan sistem koordinasi dan komunikasi di lapangan berjalan dengan efektif dan merata. (Tan)
Leave a Reply