Kuningan, MI.com — Mengusung tajuk “Suci ing Pamrih Rancage Gawe” (artinya Tulus dalam Niat, Cekatan dalam Bekerja), Hajat Ageung Sawindu digelar pada hari Senin (11/8/2025), di Aula Mayang Catering, Kelurahan Ciporang, Kecamatan Kuningan.
Hajat Ageung Sawindu dihadiri Bupati Kuningan Dr H Dian Rachmat Yanuar M Si, anggota DPRD Kuningan mulai Rana Suparman, S.Sos, Tika Elvian, Jajang Jana, dan Ali Akbar.
Selain itu, hadir pula jajaran SKPD seperti Kadisporapar Drs. Asep Budi Setiawan, M.Si, Kadiskatan Dr Wahyu Hidayah, M.Si, Kadis LH Ir Usep Sumirat, para kuwu yang terlewati aliran Sungai Cisanggarung, serta komunitas dari sejumlah aliran sungai besar seperti Citarum, Cimanuk dan Cimandiri.
Ketua panitia, Dasan Aminudin Latif, mengatakan acara ini merupakan wujud dari perjalanan panjang komunitas masyarakat sekitar Cisanggarung dalam menghidupkan kembali nilai-nilai Patanjala, filosofi sunda yang mengajarkan pentingnya menjaga alam demi keberlangsungan generasi.
Baca juga :
- Update Bencana Angin Kencang di Kecamatan Ciawigebang: 67 Rumah dan Bangunan Rusak
- Suyudi Ario Seto Resmi jabat Kepala BNN Gantikan Marthinus Hukom
- Dr Wahyu Hidayah jabat Pj Sekda Kuningan Gantikan Beni Prihayatno
“Tema ini menjadi pengingat bahwa alam bukan sekedar wacana, melainkan kerja nyata yang butuh ketulusan dan kegigihan,” ujarnya.
Tokoh Lulugu (sesepuh) Incu Putu Pangauban Cisanggarung, Rana Suparman, juga mengutarakan hal yang sama. Patanjala, kata Rana, berhasil menyatukan komunitas dari berbagai daerah aluran sungai.
Konsep ini sempat diadopsi dalam kebijakan daerah melalui Peraturan Daerah tentang Perlindungan Mata Air. Namun, ia menyesalkan terhambatnya Perda Inisiatif Patanjala di Kementerian Hukum dan HAM hanya karena istilah Patanjala belum masuk dalam KBBI.
“Padahal ini kosakata buhun yang sarat makna pelestarian alam,” kata Rana, menyayangkan.

Bupati Kuningan, Dian Rachmat Yanuar dan Sesepuh Incu Putu Pangauban Cisanggarung, Rana Suparman saat hajat ageung di Mayang Catering, Ciporang, Kuningan, Senin 11 Agustus 2025
Penelusuran komunitas dari hulu di Gunung Sintok/Kendeng hingga Brebes, Rana mengungkapkan hal yang memprihatinkan, dimana sekitar 70% kawasan alam di Kuningan mengalami kerusakan. Meski hijau, banyak lahan yang sebenarnya kekeringan karena kurangnya tanaman endemik.
“Karena itu, kolaborasi dan komunikasi lintas komunitas serta dukungan pemerintah mutlak diperlukan,” imbaunya terutama bagi para pemangku kebijakan.
Sementara, Bupati Kuningan, Dian Rachmat Yanuar memberikan apresiasi kepada pangauban Cisanggarung yang selama ini tetap konsisten dalam menjaga kelestarian alam.
“Apresiasi setinggi-tingginya kepada incu-putu Pangauban Cisanggarung yang konsisten melestarikan nilai-nilai budaya sunda, menjaga lingkungan, dan menghidupkan kearifan lokal. Di tengah arus perubahan zaman, di mana banyak tradisi mulai dilupakan, Pangauban Cisanggarung tetap teguh, tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang—menjadi teladan yang layak disebarluaskan,” kata Bupati.
Ia kemudian menjelaskan soal frasa yang digunakan komunitas. Pangauban dalam makna sunda bukan sekadar wilayah secara fisik, tetapi juga rumah batin—tempat di mana kita hidup, tumbuh, dan saling menjaga.
“Ia adalah pagar yang melindungi bukan hanya tubuh kita, tapi juga jiwa kita. Dan di sini, Pangauban Cisanggarung telah membuktikan bahwa ngajaga lembur bukan hanya pekerjaan, melainkan ibadah sosial dan warisan leluhur” lanjut Bupati.
Dalam pepatah sunda, Bupati Dian menyampaikan akan sebuah ajaran luhur : Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, lemah cai kudu dijaga.
“Ajaran luhur inilah yang menjadi panggilan moral bagi kita untuk selalu ingat bahwa manusia selalu hidup berdampingan dengan alam, tidak boleh dirusak !” tegasnya.
Bupati Dian menggambarkan bahwa aliran sungai itu mencerminkan kerendahan hati. Sungai selalu mengalir dari atas hingga ke bawah, menggambarkan manusia harus tunduk dan patuh terhadap alam dan kuasa Tuhan, handap ashor.
Dia berharap semangat dan keteladanan dari barisan incu putu Pangauban Cisanggarung ini dapat menjalar seperti aliran Sungai Cisanggarung itu sendiri—mengalir ke seluruh lapisan masyarakat kuningan, bahkan keluar daerah, menjadi inspirasi bagi siapapun yang ingin membangun lingkungan dan budaya secara berkelanjutan. (Tan)**