Jakarta, MI.com — Bunga bank konvensional dinyatakan sebagai riba berdasarkan Fatwa MUI. Sementara itu, Fatwa DSN menegaskan setiap akad syariah harus terbebas dari unsur riba. Sejalan dengan UU Perbankan Syariah yang mewajibkan seluruh kegiatan usaha bank syariah berlandaskan prinsip syariah yang melarang praktik riba.
Status bunga bank konvensional adalah riba dalam hukum islam. Mungkin pernyataan ini sudah tidak asing didengar oleh banyak kalangan, terutama setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah secara tegas menuangkannya melalui Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Interest/Fa’idah).
“Definisi riba itu kalau di dalam syariah secara umum memang bervariasi, tetapi secara teknis definisinya (adalah) pendapatan yang tidak diupayakan. Jadi uang yang berhenti bertambah sendiri,” terang Wakil Dekan Keagamaan, Kemahasiswaan, dan Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Agus Triyanta, kepada Hukumonline, Senin (6/10).
Merujuk pada Fatwa MUI 1/2004, riba diartikan sebagai tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang timbul akibat penangguhan pembayaran yang telah diperjanjikan sebelumnya.
Sementara itu, bunga didefinisikan sebagai tambahan dalam transaksi pinjaman uang yang dihitung dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan atau hasil dari pokok tersebut.
Dilansir dari hukumonline.com, penetapan bunga dilakukan berdasarkan jangka waktu tertentu, dihitung secara pasti di muka, dan umumnya menggunakan persentase.
Fatwa tersebut menegaskan bahwa praktik pembungaan uang memenuhi kriteria riba nasi’ah, sehingga termasuk salah satu bentuk riba yang hukumnya haram. Baik melalui lembaga keuangan seperti bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, dan koperasi, maupun bagi individu.
Baca Juga:
- Bunga Bank Termasuk Riba? Ini Penjelasan Hukum yang Sering Terlewat
- Menteri Hukum Dukung Karya Jurnalistik Dilindungi UU Hak Cipta
- Dewan Pers Minta Menkum Bikin Regulasi Lindungi Karya Jurnalistik dari AI
- Purbaya Kritik Tajam Praktik Jual Beli Jabatan dan Proyek Fiktif
MUI juga menegaskan, umat Islam tidak diperbolehkan melakukan transaksi berbasis bunga dengan lembaga keuangan konvensional apabila di wilayahnya telah tersedia lembaga keuangan syariah yang mudah dijangkau. Namun, dalam kondisi tidak tersedianya lembaga keuangan syariah, transaksi dengan lembaga konvensional diperbolehkan atas dasar prinsip dharurat atau hajat.
“Jadi bahwa bunga bank itu dinilai riba itu ada Fatwa MUI-nya, landasan normatifnya itu. Namun sebenarnya Fatwa MUI itu tidak mengikat. Lalu yang mengikat apa? Prinsipnya di UU Perbankan Syariah sudah sangat jelas, prinsip syariah yang dimaksud adalah sebagaimana yang difatwakan Dewan Syariah Nasional,” ucapnya.
Ia merujuk pada Pasal 1 angka 12 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) yang menafsirkan prinsip syariah sebagai prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
“Artinya, secara tidak langsung landasan normatif riba itu bersamaan dengan landasan normatif lain yang mengatakan bahwa semua jenis usaha syariah itu tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Itu dalam UU Perbankan Islam ada dan secara otomatis itu juga berlaku untuk investasi di pasar modal,” ungkap Agus.
Dengan demikian, ia menjelaskan bahwa regulasi terkait riba saat ini merujuk pada Fatwa MUI serta Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) yang menjadi pijakan UU Perbankan Syariah. Ketentuan dari DSN antara lain tercantum dalam Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah dan Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
Melalui fatwa-fatwa DSN digarisbawahi bahwa akad syariah harus bebas dari unsur yang bukan hanya riba, tetapi bebas dari gharar (ketidakjelasan), maysir (perjudian), zhulm (kezaliman), risywah (suap), serta transaksi yang mengandung barang haram dan maksiat. Di samping itu, kembali dipertegas bahwa bank dan nasabah harus melakukan akad yang bebas riba.
Adapun dalam kesempatan terpisah, Wakil Dekan III Fakultas Hukum dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Surakarta (FHIP UMS), Wardah Yuspin, kembali menyampaikan bahwa secara terminologis, bunga dan riba merupakan dua istilah yang berbeda. Dalam hukum positif di Indonesia, ujarnya, tidak terdapat ketentuan yang melarang pengenaan bunga dalam suatu transaksi ekonomi.
“Tetapi apabila kita bicara mengenai aturan dalam hukum islam, yang namanya bunga itu sedikit ataupun banyak definisinya (tergolong) sebagai ziyadah. Jadi ketika dia masuk ke dalam tambahan atau ziyadah itu tadi tidak diperkenankan. Bunga inilah yang kemudian dalam hukum islam disamakan dengan riba,” jelas Wardah.
Berbeda dengan bunga bank yang umum dijumpai pada lembaga keuangan konvensional, perbankan syariah mengenal sistem yang disebut akad. “Kalau dalam akad syariah, setiap tambahan atau bunga, baik besar maupun kecil, tidak diperkenankan. Karena itu, dalam sistem akad tidak ada yang namanya konsep pinjam-meminjam,” kata dia.
Wardah menegaskan, akad pembiayaan dalam perbankan syariah harus berlandaskan prinsip-prinsip syariah. Beberapa bentuknya antara lain murabahah (jual beli), mudharabah (bagi hasil), dan musyarakah (kerja sama). Dalam setiap akad syariah, uang diposisikan sebagai alat tukar, bukan aset, sehingga tambahan imbalan dari transaksi keuangan tidak diperbolehkan.
Pakar hukum perbankan syariah itu kemudian merujuk pada Surat Al-Baqarah ayat 278 sebagai landasan atas keharaman praktik riba. Ia juga menjelaskan bahwa konsep murabahah atau jual beli dengan adanya laba tetap diperbolehkan dalam Islam. Sementara itu, konsep mudharabah dan musyarakah yang berbasis bagi hasil menegaskan bahwa uang dipandang semata sebagai alat tukar, bukan sebagai aset yang dapat menghasilkan tambahan nilai.
“Sehingga ketika ada pihak yang mengandalkan adanya suatu pembiayaan dari perbankan syariah, maka yang akan digunakan sebagai dasar adalah adanya bagi hasil. Jadi memang dalam konsep hukum islam yang namanya setiap tambahan itu baik besar maupun kecil jumlahnya dianggap sebagai riba. Sehingga dalam setiap akad yang terjadi di bank syariah, selalu mengedepankan asas yang tidak menggunakan uang sebagai aset tapi sebagai alat tukar saja,” ujarnya.
Selengkapnya, UU Perbankan Syariah menafsirkan akad sebagai kesepakatan tertulis antara bank syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) dengan pihak lain yang memuat hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan prinsip syariah.
Pasal 19 ayat (1) Bagian Ketiga tentang Perbankan Syariah dalam UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) mengatur bahwa di antara kegiatan usaha bank umum syariah mencakup menghimpun dana dalam bentuk simpanan dan investasi serta menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Lebih lanjut, kegiatan usaha bank umum syariah juga mencakup berbagai bentuk pembiayaan lainnya. Di antaranya, pembiayaan penyewaan barang bergerak maupun tidak bergerak berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli; pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah; penerbitan kartu debit dan/atau kartu pembiayaan; kegiatan membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata.
Selain itu, kegiatan lainnya yang dapat dilakukan bank syariah juga termasuk memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi, melakukan pengalihan piutang, dan menjalankan kegiatan lain atas persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sepanjang seluruh kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Apa Kata AIlex:
Bunga bank dalam hukum Islam dikategorikan sebagai riba, dan praktik ini dilarang dalam perbankan syariah di Indonesia.
- Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, seluruh kegiatan usaha bank syariah wajib berlandaskan prinsip syariah, yaitu prinsip hukum Islam yang melarang adanya unsur riba, gharar (ketidakpastian), dan maysir (judi), sebagaimana tercermin dalam penjelasan umum dan ketentuan pasal-pasal awal undang-undang tersebut.
- Riba dalam hukum Islam diartikan sebagai tambahan atau kelebihan yang diperoleh secara tidak sah dalam transaksi pinjam-meminjam atau pertukaran barang ribawi, termasuk uang, tanpa adanya aktivitas riil atau risiko yang seimbang. Praktik bunga bank konvensional, di mana nasabah membayar atau menerima tambahan atas pokok pinjaman atau simpanan, dipandang sebagai bentuk riba karena adanya kelebihan yang dipersyaratkan di muka tanpa dasar transaksi riil.
- Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 menegaskan bahwa prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa atau pendapat yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan penetapan fatwa di bidang syariah. Dalam praktiknya, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa bunga bank adalah riba dan hukumnya haram.
- Seluruh produk dan layanan bank syariah, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, menggunakan akad-akad yang sesuai dengan prinsip syariah, seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, dan akad lain yang tidak mengandung unsur riba.
Dengan demikian, menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan perbankan syariah di Indonesia, bunga bank dikategorikan sebagai riba dan dilarang dalam sistem perbankan syariah. (Hukumonline.com)**