Oleh : Azis Untung Priyambudi : Mahasiswa S2 UI dan Abdi Negara
Jakarta, MI.com — Di tengah santernya kabar pembukaan seleksi CASN 2025/2026, sebuah pergeseran fundamental tengah terjadi dalam sistem rekrutmen Aparatur Sipil Negara (ASN). Skema penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Tahun Anggaran 2024/2025 menjadi gambaran gamblang fenomena tersebut.
Berdasarkan Peraturan MenPAN-RB Nomor 14 Tahun 2023 tentang Pengadaan PPPK untuk Jabatan Fungsional, PPPK dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan mengisi jabatan fungsional yang kosong pada instansi. Harapannya PPPK sudah siap membantu meningkatkan kinerja organisasi.
Alih-alih diterapkan lebih lanjut, peraturan tersebut justru dicabut dan digantikan dengan Peraturan MenPAN-RB Nomor 6 Tahun 2024 tentang Pengadaan Pegawai ASN. Dalam peraturan tersebut, PPPK tidak lagi dikhususkan untuk mengisi jabatan fungsional tertentu saja, melainkan juga dapat mengisi jabatan pelaksana. Kenapa?
Hal ini berkaitan erat dengan agenda pemerintah yang tertuang pada Pasal 66 UU Nomor 20 Tahun 2023 yaitu tentang penataan tenaga non-ASN di lingkungan pemerintah untuk diangkat menjadi PPPK. Tentu, hal ini menjadi kabar baik bagi tenaga non-ASN yang sudah loyal bekerja dalam sebuah instansi pemerintah. Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah kebijakan ini mampu menjawab dan memenuhi kebutuhan dasar instansi pemerintah dalam merekrut talenta terbaiknya?
Belum tentu, karena nyatanya pelaksanaan pengadaan PPPK melalui penataan tenaga non-ASN kerap mengabaikan prinsip meritokrasi yang sering digaungkan oleh pemerintah. Jalan Buntu Indonesia U-23 Taklukkan India Artikel Kompas.id Jalan Buntu Indonesia U-23 Taklukkan India Pada pengadaan PPPK Tahun Anggaran 2024/2025, pemerintah memang menetapkan sejumlah persyaratan.
Baca juga :
- Program Ketahanan Pangan Desa Ciketak Fokus Ternak Ayam Petelur
- BNNK Kuningan Tanamkan Nilai Anti Narkoba Sejak Dini
- Sejarah baru Harga Pupuk Turun, Pasokannya Dijamin Lancar
- Bunga Bank Termasuk Riba? Ini Penjelasan Hukum yang Sering Terlewat
Akan tetapi, syarat tersebut seolah menjadi formalitas, sebab hampir seluruh tenaga non-ASN dinyatakan lolos selama memenuhi kriteria administratif utama, yaitu “masa kerja”. Padahal idealnya, perencanaan formasi ASN harus didasarkan pada Analisis Jabatan (Anjab), Analisis Beban Kerja (ABK), dan kemampuan anggaran instansi. Alih-alih menggunakan perhitungan teknokratis, penentuan jumlah formasi justru hanya berpatokan pada jumlah tenaga non-ASN yang ada.
Akibatnya, proses seleksi PPPK bagi tenaga non-ASN berisiko menjadi sekadar formalitas administratif, bukan lagi arena kompetisi talenta. Ketika jumlah formasi yang diusulkan “dikunci” sesuai jumlah tenaga non-ASN yang ada, prinsip persaingan yang diamanatkan Peraturan MenPAN-RB Nomor 6 Tahun 2024 tidak sepenuhnya diterapkan. Hal ini merupakan sebuah kemunduran jika dibandingkan dengan seleksi CPNS yang mana terlepas dari segala kekurangan proses seleksi, praktiknya telah berhasil membangun fondasi meritokrasi. Oleh karena itu, kebijakan penataan tenaga non-ASN menjadi PPPK ini menandai awal terjadinya paradoks.
Awalnya, skema PPPK dirancang untuk merekrut tenaga profesional, namun kini justru berujung pada penambahan pegawai dengan kompetensi yang cenderung sama dengan sebelumnya. Di satu sisi, birokrasi menjadi ‘gemuk’ oleh pegawai dengan keahlian yang sama. Di sisi lain, instansi juga ‘kelaparan’ talenta teknis spesifik, yang memaksa instansi tetap merekrut dan mempertahankan tenaga non-ASN melalui skema PJLP.

Ilustrasi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjitan Kerja (P3K)
Fenomena ini membuktikan bahwa sistem rekrutmen CASN belum sepenuhnya menjawab kebutuhan riil organisasi, sehingga menciptakan situasi surplus pegawai namun defisit keahlian. Hambatan ini seharusnya tidak terjadi jika negara berkomitmen dalam mengelola talentanya.
Menghadapi kompleksitas ini, dua langkah strategis dan berkelanjutan dapat ditempuh dengan mengadopsi pendekatan berlandaskan teori manajemen SDM modern. Pertama, melaksanakan program up-skilling dan re-skilling seluruh pegawai.
Merujuk pada Teori Human Capital yang dijelaskan oleh Gery S. Brecker (1993) dalam bukunya Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education, manusia adalah aset yang nilainya dapat ditingkatkan melalui investasi pendidikan dan pelatihan.
Pengangkatan Tenaga Non-ASN menjadi PPPK juga dapat dilihat sebagai akuisisi “aset baru” yang produktivitasnya juga perlu dioptimalkan. Oleh karena itu, PPPK hasil penataan wajib mengikuti program pengembangan kompetensi terstruktur dalam periode pertama masa kerjanya.
Kedua, melakukan evaluasi kebutuhan riil pasca-penataan. Langkah ini sejalan dengan kerangka kerja Perencanaan SDM (Human Resource Planning) yang diuraikan oleh Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2011) dalam bukunya Human Resource Management.
Dalam perspektif Human Resource Planning, salah satu fungsi utama perencanaan SDM adalah menganalisis ketersediaan tenaga kerja internal (internal supply) dan membandingkannya dengan kebutuhan organisasi. Oleh karena itu, setelah proses penataan selesai, evaluasi melalui Analisis Jabatan (Anjab) dan Analisis Beban Kerja (ABK) adalah cara sistematis untuk memetakan internal supply secara komprehensif.
Praktik ini tidak hanya akan mengidentifikasi di mana terjadi penumpukan pegawai (redundansi), tetapi juga di mana masih terdapat celah kompetensi (talent gap). Hasil evaluasi inilah yang akan menjadi dasar berbasis data (evidence-based) untuk merancang formasi rekrutmen di masa depan, sehingga mengakhiri siklus rekrutmen yang bersifat reaktif. Pada akhirnya, keberhasilan implementasi kedua solusi tersebut akan bermuara pada satu tujuan utama, yakni peningkatan kualitas birokrasi yang berdampak langsung pada persepsi masyarakat.
Sejalan dengan arah reformasi birokrasi pemerintah dalam mendukung Visi Indonesia Emas 2045. Mengutip pada situs resmi Kementerian PAN-RB (01/08/2025), fokus utama Reformasi Birokrasi yaitu pembangunan birokrasi yang kolaboratif, kapabel, dan berintegritas, serta berbasis pada pelayanan yang berpihak kepada manusia (human-based governance).
Lebih lanjut, dilansir dari Survei Ipsos Global Trustworthiness Index 2024 tentang tingkat kepercayaan publik terhadap berbagai profesi di Indonesia, pejabat kabinet menempati posisi ketiga dan pegawai pemerintah menempati posisi kelima dengan tingkat ketidakpercayaan tertinggi.
Hal ini juga menjadi pengingat bagi pemerintah untuk terus melakukan perbaikan dalam membangun kepercayaan publik, salah satunya yaitu dalam hal pengelolaan SDM dari hulu ke hilirnya. Ke depan, harapan besar kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian PAN-RB, BKN dan DPR RI untuk dapat berkolaborasi dan konsisten dalam merumuskan, menerapkan, dan mengevaluasi kebijakan manajemen ASN yang berlandaskan prinsip meritokrasi agar mampu meningkatkan pelayanan dan kepercayaan publik.
Sumber: Kompas